Cari Blog Ini

Senin, 10 September 2012

Perempuan bernama Vi.


Vi, aku mengenalmu sebagai perempuan dengan mata besar dipayungi alis tebal yang selalu berkaca-kaca.
Mata itu yang memberitahuku betapa dalamnya rasamu.
Sebenarnya, ingin sekali kukecup sunyi di matamu.
Atau, tenggelam dan meresap dalam geretak isakmu seraya menghitung seberapa dalam kelabu menghuni kisahmu. Cerita cinta kita.
Tetapi, kamu lebih suka mengabadikan risalah cerita kita. Di hatimu, di matamu.

Vi, aku tak ingin terus memanggilmu perempuan dengan mata yang selalu berkaca-kaca. Sesekali kamu harus bisa mengeja getar rasa, getar yang memaksamu merindu. Mencinta.

Bukan sebagai aliran pemicu sendu, melainkan semata pembuka ingatan. Bahwa cinta itu sesuatu yang tak bisa kita arahkan.
Bukankah tidak semua harapan kita diperkenankan takdir menjadi kenyataan?

Tumpahkan saja semua cerita di bahuku, sebelum luka makin rimbun. Di dadamu, di matamu.

Sebagai penutup aku hendak mengutip adegan di sebuah film Perahu kertas. Kata keenan “apa yang orang bilang realistis belum tentu sama dengan apa yang kita pikirkan” .

ini terjadi kepadaku, orang bilang sah-sah saja aku merindumu.
Maafkan aku Vi, maaf...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar